Wacana pengubahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi badan ad hoc terus menjadi topik perbincangan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa peran kedua lembaga tersebut dinilai lebih penting hanya pada saat-saat pelaksanaan Pemilu. Meskipun demikian, muncul berbagai pertanyaan terkait dengan apakah rencana ini akan disetujui oleh KPU, apa harapan dari lembaga penyelenggara Pemilu ke depan, dan bagaimana dampak dari perubahan ini terhadap efektivitas pelaksanaan Pemilu.
Dr. Laode Arumahi, seorang pemerhati demokrasi, menilai bahwa wacana ini bukan hal baru dalam dunia politik. Menurutnya, ide untuk mengubah kedua lembaga ini menjadi badan ad hoc sering muncul setelah Pemilu, terutama dari anggota parlemen yang baru saja terpilih untuk pertama kalinya. Laode, yang memiliki pengalaman sebagai Ketua Bawaslu Sulsel selama dua periode, menyoroti rendahnya kesadaran politik di Indonesia, baik di kalangan elit politik maupun masyarakat.
Menurutnya, kesadaran politik hanya bisa dibangun melalui pengetahuan politik yang komprehensif dan holistik. Hal ini menjadi sorotan karena banyak anggota parlemen baru yang belum memiliki pemahaman yang memadai terkait politik. Standar pendidikan yang beragam, minimal SMA, dan pengalaman politik yang terbatas menjadi salah satu alasan munculnya wacana ini yang dianggap kurang matang. Dr. Laode menegaskan bahwa memahami pentingnya membangun demokrasi melalui Pemilu bukanlah sesuatu yang mudah, dan perlu ada kesadaran yang lebih besar baik dari para elit politik maupun masyarakat secara umum.