Pada setiap unjuk rasa, keamanan dan ketertiban merupakan hal yang harus dijaga. Aparat keamanan, termasuk polisi, seringkali dikerahkan untuk memastikan jalannya demonstrasi tetap aman dan tertib. Namun, terkadang demonstrasi bisa berubah menjadi kerusuhan, sehingga polisi terpaksa menggunakan taktik khusus untuk mengendalikan situasi. Salah satu taktik yang sering digunakan adalah penggunaan gas air mata, meriam air, dan peluru. Tidak semua peluru yang digunakan merupakan peluru tajam, beberapa di antaranya adalah peluru karet yang dianggap sebagai senjata non-mematikan.
Peluru karet merupakan amunisi yang terbuat dari karet atau plastik keras, dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda dengan peluru tajam. Meskipun tidak sekuat peluru logam dalam penetrasi, peluru karet tetap memiliki potensi untuk menyebabkan luka serius bahkan kematian jika digunakan dengan jarak dekat atau diarahkan ke bagian tubuh vital. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan peluru karet tidak selalu tanpa risiko, seperti yang terjadi di Irlandia Utara di mana banyak korban mengalami cedera serius bahkan kematian.
Di sisi lain, peluru tajam atau peluru hidup terbuat dari logam dengan daya penetrasi yang kuat. Penggunaan peluru tajam memiliki konsekuensi yang lebih fatal dibandingkan peluru karet, terutama jika mengenai organ vital seperti otak. Oleh karena itu, polisi jarang menggunakan peluru tajam dalam pengendalian unjuk rasa karena risiko yang terkait dengannya. Peluru tajam biasanya diarahkan ke bagian tubuh bawah untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh.
Peluru karet dan peluru tajam memiliki perbedaan mendasar dalam bahan, daya penetrasi, dan potensi fatalitas. Penting untuk memahami risiko yang terkait dengan penggunaan kedua jenis amunisi tersebut agar dapat mengambil langkah yang sesuai dalam situasi yang memerlukan pengendalian massa atau keamanan publik. Jika dilakukan dengan bijak, penggunaan peluru dapat membantu menjaga keamanan tanpa menimbulkan korban jiwa yang tidak perlu.