Pada tahun 2027, ekspor China ke Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami penurunan hingga US$485 miliar karena kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump. Hal ini diproyeksikan berdasarkan OEC Tariff Simulator yang memprediksi pergeseran perdagangan global di tengah meningkatnya perang dagang antara kedua negara.
Perundingan dagang antara AS dan China kembali digelar di Stockholm, namun jika tidak tercapai kesepakatan sebelum 12 Agustus, tarif AS untuk produk China dapat naik hingga 145% dari saat ini 51%. Di sisi lain, ekspor AS ke China saat ini dikenakan tarif sebesar 32,6%.
Data pemerintah AS mencatat total impor barang dari China mencapai US$438,9 miliar pada 2024. Di tengah dominasi China dalam perdagangan dengan AS, penurunan ini lebih besar daripada total penurunan seluruh ekspor global ke AS. Presiden Trump baru saja menandatangani kesepakatan tarif 15% dengan Jepang dan Uni Eropa, serta mengisyaratkan tarif dasar global akan berkisar antara 15-20%.
Ahli ekonomi dari Toulouse School of Economics, Cesar Hidalgo, menyatakan bahwa banyak negara akan cenderung menjauh dari hubungan dagang dengan AS dalam skenario ini. Negara-negara terhubung erat dengan manufaktur China, seperti Vietnam dan Korea Selatan, juga diproyeksikan turut terkena dampak.
Sebagai respons atas penurunan perdagangan dengan AS, China memperluas perdagangan dengan negara-negara ASEAN dan mitra lainnya. Ikea menjadi importir terbesar produk dari China ke AS, diikuti oleh perusahaan lain seperti Walmart, Costco, Dole Fresh Fruit, dan Amazon. Produk terdampak termasuk kedelai, sirkuit terpadu, minyak mentah, gas alam, dan mobil.
Peringatan datang dari mantan Menteri Perdagangan AS Carlos Gutierrez bahwa proteksionisme tidak akan membawa manfaat jangka panjang. Ia menekankan bahwa proteksionisme justru merampas vitalitas sebuah negara. Texas dan California tercatat sebagai negara bagian AS yang paling terpukul akibat penurunan perdagangan dengan China, dengan Texas sebagai pemimpin ekspor ke China.